Berbahagialah orang
yang diberi kesempatan untuk mengerjakan ibadah haji, karena hanya sedikit dari
hamba Allah yang diperkenankan untuk menunaikan ibadah yang agung ini.
Surga, Balasan
bagi Haji Mabrur
Haji sebagai salah satu rukun Islam selain
memiliki fadhilah berupa terhapusnya dosa bagi mereka yang menunaikannya, juga
memiliki keutamaan yang sangat besar jika haji yang dilaksanakan tergolong
sebagai haji yang mabrur. Keutamaan tersebut adalah balasan berupa surga seperti
yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada balasan bagi haji yang
mabrur selain jannah (surga)” [HR. Bukhari dan Muslim]. Setiap orang yang melaksanakan
haji tentu berharap agar haji yang dilaksanakan dapat tergolong sebagai haji
yang mabrur. Adakah balasan yang lebih berharga selain surga Allah?
Kiat Meraih Haji
Mabrur
Pahala haji yang besar
itulah yang menjadi alasan bagi kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji,
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit tidak menjadi penghalang bagi kaum
muslimin untuk berbondong-bondong ke Tanah Haram demi menunaikan ibadah haji.
Namun, amatlah
disayangkan jika niat yang baik tersebut tidak diimbangi dengan pengetahuan
agama terkait tata cara haji, mengingat haji yang mabrur -sebagaimana
ditafsirkan oleh sebagian ulama- adalah haji yang berbagai hukum di dalamnya
ditunaikan secara sempurna [Fath al-Baari 5/155].
Jika seorang berhaji
tanpa mengetahui hukum-hukum dan adab-adab haji, dikhawatirkan ibadah haji yang
dilaksanakan tercampuri berbagai tindakan yang mengurangi kesempurnaan haji,
atau bahkan membatalkannya. Bila kondisinya demikian tentu haji mabrur yang
diharapkan hanyalah sebuah mimpi.
Ulama telah memberikan beberapa kiat untuk
memperoleh haji yang mabrur, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, dilakukan
dengan ikhlas. Dalam menunaikan
suatu ibadah, setiap muslim dituntut untuk ikhlas. Demikian pula dalam berhaji,
seorang muslim diwajibkan untuk terbebas dari tujuan lain selain mendapatkan
ridha Allah ta’ala. Dia tidak
menghendaki pujian, popularitas ataupun gelar “pak haji” selepas dirinya
berhaji.
Jika ternyata dirinya terhinggapi riya, sum’ah
atau berbagai tendensi selain memperoleh ridha Allah, maka gugurlah pahala yang
semula dijanjikan untuknya. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Aku adalah Zat
yang Maha Kaya (tidak butuh) kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan
yang dia menyekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama
apa yang dia sekutukan”
[HR. Muslim]. Mengingat pentingnya ikhlas dalam berhaji, Nabi Muhammad SAW pun berdo’a
meminta kepada Allah agar haji yang beliau lakukan terbebas dari unsur riya’
dan sum’ah. Kata beliau, “Ya Allah, jadikanlah hajiku ini, haji yang tidak
mengandung unsur riya (pamer diri) dan unsur sum’ah (siar diri)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kedua, Berusaha
melaksanakan ibadah haji sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dalam segala
perkara, besar maupun kecil, yang hukumnya wajib maupun yang status hukumnya
mustahab. Jangan menyepelekan ibadah sunnah, karena menyepelekannya
mengantarkan seseorang untuk menyepelekan rukun-rukun haji yang hukumnya wajib
dilakukan.
Demikian pula, mereka yang berhaji hendaknya
menghindari berbagai praktek ibadah yang menyelisihi tuntunan nabi dalam
berhaji. Seluruh kegiatan manasik haji telah tertuang dalam kitab-kitab hadits,
kaum muslimin tinggal mengambilnya dari sumber tersebut. Oleh karenanya, setiap
muslim yang hendak berhaji haruslah memiliki bekal yang memadai terkait fikih
pelaksanaan haji.
Ketiga, Melakukan
persiapan ruhani untuk berhaji. Persiapan rohani ini dapat ditempuh dan dibantu dengan cara:
1. Taubat nashuha. Melaksanakan haji dengan menempuh perjalanan
ribuan kilometer, selain menghabiskan biaya, tentu juga menguras fisik dan
tenaga. Bahkan tidak menutup kemungkinan orang yang berhaji tidak mampu lagi
kembali ke tengah-tengah keluarga, karena Allah mewafatkan mereka disana. Oleh
karenanya, mereka yang berhaji perlu senantiasa memperbarui taubat kepada Allah
akan berbagai kezhaliman yang telah dilakukan. Jika kezhaliman tersebut terkait
dengan orang lain, maka hendaklah dia segera meminta maaf kepada pihak yang dia
zhalimi.
2. Bersegera menunaikan hak orang lain, jika masih ada yang belum
tertunaikan. Jika ada hutang, hendaknya ditunaikan segera. Hal ini agar mereka
yang berhaji tidak lagi memiliki “tanggungan” yang dapat membebani pikiran
tatkala melaksanakan ibadah haji.
3. Menggunakan harta yang halal. Salah satu nama Allah adalah
ath-Thayyib (Zat yang Maha Baik). Dengan demikian, sebagaimana disebutkan dalam
hadits Allah tidaklah akan menerima kecuali amalan yang baik pula. Wajib
menggunakan harta yang halal (bukan dari hasil riba, korupsi, gratifikasi,
penipuan, pencurian, dll) untuk membiayai pelaksanaan haji, karena harta yang
haram dapat menghalangi pahala haji sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Jika seseorang keluar bertujuan haji dengan
nafkah yang baik (halal) dan ia pijakkan kaki pada pijakan pelana kudanya lalu
menyeru, “Kusambut panggilan-Mu ya Allah, kusambut panggilan-Mu”, maka
diserulah ia oleh penyeru dari langit “Ku sambut pula kamu dan Aku karuniakan
kepadamu kebahagiaan demi kebahagiaan. Bekalmu adalah halal, kendaraan yang
kamu tunggangi pun halal. Dan hajimu adalah mabrur, tidak ternodai dosa.” Jika
seorang itu keluar dengan nafkah yang buruk (haram) lalu ia pijakkan kakinya
pada pijakan pelana kudanya dan menyeru: “Kusambut panggilan-Mu ya Allah,
kusambut panggilan-Mu”, maka diserulah ia oleh penyeru dari langit: “Aku tidak
menyambutmu dan tidak pula Aku karuniakan kebahagiaan demi kebahagiaan
kepadamu. Bekalmu adalah haram, dan harta yang kamu gunakan pun haram. Dan
hajimu tidaklah mabrur” [Dla’if. HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam
al-Wasith].
4. Mencari rekan yang
shalih untuk menemani. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang
itu bergantung pada agama / perangai teman karibnya, maka hendaknya seseorang
meneliti siapa yang dia jadikan karib.” [Hasan. HR. Ahmad]. Keberadaan
orang-orang yang shalih ketika berhaji akan menguatkan jama’ah haji karena
mereka akan memotivasi ketika lesu dalam beribadah, akan mengingatkan ketika
lupa menunaikan suatu kebaikan, akan menunjukkan berbagai kebaikan, dan akan
memperingatkan dari berbagai keburukan.
Keempat,
meninggalkan maksiat dan berbagai hal yang diharamkan ketika berhaji. Allahta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
mengerjakan (ibadah) haji pada (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berbuat
rafats, berbuat fasik, dan jidal dalam (melakukan ibadah) haji…” (QS.
Al-Baqarah: 197)”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa
berhaji sedangkan dia tidak melakukan rafats dan berbuat fasik, maka dia
kembali seperti hari dia dilahirkan ibunya” [HR. Bukhari].
Syeikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
berkata, “Orang yang mengerjakan haji hendaklah menjauhi rafats yaitu jima’
serta semua sebab dan motif yang mendorong untuk melakukannya, menjauhi
tindakan fasik baik dalam bentuk kata-kata yang diharamkan seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) atau dusta, maupun
berupa perbuatan yang diharamkan seperti memandang wanita yang bukan mahramnya
dan lain sebagainya. Adapun jidal yaitu bertengkar dan berdebat dengan orang
lain ketika menunaikan ibadah haji. Hal ini akan banyak mengurangi pahala haji,
kecuali berdebat untuk mencari kebenaran dan menjauhi kebatilan, maka ini
hukumnya wajib.” (Syarah Riyadhus Shalihin 3/747).
Tanda-tanda Haji
yang Mabrur
Salah satu pengertian haji mabrur yang
diungkapkan oleh para ulama adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, dan hal
itu ditandai dengan adanya perbaikan kondisi jama’ah haji menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Lebih ta’at dan tunduk kepada-Nya, bersemangat dalam
menjalankan aturan dan hukum yang ditetapkan-Nya, serta konsisten melaksanakannya.
Inilah indikator yang menjadi tanda akan ”kemabruran” haji seseorang.Wallahul muwaffiq. [Ichwan Muslim]
SEMOGA BERMANFAAT